PSSI Satu untuk Semua, Semua untuk Satu


“IRFAN Bachdim cedera ringan; Cristian Gonzales mulai latihan.” Itulah dua tajuk penghias halaman olahraga pelbagai media massa mewartakan progres dalam program latihan di tubuh PSSI mempersiapkan skuad ke ajang Suzuki AFF Cup 2010.

Belum lagi mulai tahap eliminasi, satu nama telah digugurkan, Boas Sallossa. Striker asal Persipura Jayapura diabaikan pelatih kepala Alfred Riedl lantaran dianggap telat memenuhi panggilan negara ke pelatnas di Lapangan ABC, Senayan, Jakarta. Hingga lima hari, sejak latihan mulai Senin (8/11/2010) hingga Jumat (12/11/2010), batang hidung adik kandung Ortizan Sallossa itu tak juga muncul.

Sang pemain memberi alasan, anak-anaknya sedang sakit. Dia berjaga untuk kesembuhan sang buah hati. Tapi Riedl, peracik taktik PSSI asal Austria, tidak mengulurkan toleransi. Katanya, tegas, “Boas out!”

Ketegasan Riedl membuang pencetak gol tersubur sementara di Liga Super Indonesia (LSI) 2010-2011 bukannya tidak menimbulkan kekhawatiran. Ujung tombak di lini depan kini tinggal empat: Bachdim, Gonzales, Bambang Pamungkas, Yongki Ariwibowo. Dalam daftar yang telah diajukan ke komite Suzuki AFF Cup 2010, bahkan nama pemuda kelahiran Papua itu masih tercantum sebagai daftar cadangan dari 30 pemain. Iman Arif, deputi Badan Tim Nasional, mengimbuhkan cercah harapan: Boas masih mungkin tampil di kancah supremasi sepakbola tertinggi se-Asia Tenggara. Tapi ada hikmah yang dapat dipetik dari ketegasan Riedl….

Sudah bukan rahasia umum lagi, diketahui dalam beberapa kali kesempatan dipanggil PSSI ke pelatnas, striker yang melejit sejak meraihkan medali emas buat kontingen Papua dalam PON XVI Palembang 2004 itu, sering terlambat bergabung. Yang mencolok adalah masuknya nama Boas ke dalam skuad SEA Games Laos 2009.

Beberapa pemain sempat diwawancarai okezone saat pelatnas timnas U-23 yang dipersiapkan untuk berkiprah ke SEA Games itu di Palembang. Mereka, khususnya striker, mengaku iri dengan tabiat pemain satu ini. Dia terus telat datang, tapi selalu dapat posisi inti: seolah kemampuannya tidak punya banyak saingan.

Sepakbola adalah permainan tim bukan individual. Maka, akibatnya, kita semua tahu, timnas U-23 terpuruk di penyisihan grup dengan cara yang amat memalukan di multieven empat tahunan se-Asia Tenggara. Diduga keras, faktor nonteknis berperan penting dalam rentetan kekalahan di Laos 2009 lalu.

Di sisi lain, pelatih Alberto Bica asal Uruguay yang menangani para pemain muda Indonesia, mengaku sering bingung sendiri. “Di negara saya,” katanya. “Para pemain secara disiplin menunggu pelatihnya datang, sementara mereka mengambil inisiatif, misalnya, melakukan pemanasan sendiri di tengah lapangan.” Bek kanan klub Nacional, juara dunia antarklub Intercontinental Club Cup 1980, itu heran, “Di sini, gantian kami pelatih, saya dan asisten, yang sampai lelah menunggu mereka mau datang latihan.” Tak heran, dengan apa yang dikatakan Bica, hasilnya PSSI memetik pelajaran mahal ketika bertanding melawan timnas negaranya, 8 Oktober silam.

Maka, satu kalimat kunci saja: “Ketaatan seluruh pemain mengikuti program pelatihan PSSI merupakan syarat mutlak kemajuan sepakbola nasional.” Maksim kuno dari trio ksatria pedang asal Prancis yang menyelamatkan rajanya, perlu dicamkan: “All for one, one for all.” Kendati PSSI bukan Three Musketeer. (msy)
Email: rizky.prawinto@gmail.com
Facebook Page: Rizky Prawinto Page
Facebook Profile: Rizky Prawinto
Instagram: @rizkyprawinto
Linkedin: Rizky Prawinto
Pinterest: rizkyprawinto