Akankah Concorde Terbang Lagi?


KOMPAS.com — Sekitar 10.000 tamu mengerumuni Boeing 747-8 Intercontinental berkelir putih-orange, Minggu (13/2/2011), di hanggar fasilitas produksi Boeing di Everett, Amerika. Bintang baru itu dihadirkan dalam seremoni peluncuran bertema "Incredible, Again" di mana para tamu dimanjakan untuk menyentuh dari dekat pesawat itu.

Sesungguhnya, baru pada kuartal keempat 2011, B747-8 Intercontinental itu diserahkan kepada Lufthansa Air. Kemudian diserahkan kepada maskapai seperti Korean Air. Namun, kehadiran B747-8 itu memang patut dirayakan, utamanya oleh dunia penerbangan Amerika.

Pasalnya, sudah sejak tahun 2005, pembuatan pesawat generasi ke-4 Boeing 747 itu diumumkan. Inilah pesawat komersial terbesar yang dibuat di Amerika, dan juga pesawat terpanjang di dunia (76,25 meter). Hingga Desember 2010 tercatat telah ada pesanan 33 unit B747-8.

"Kami memang mencari pesawat baru yang lebih modern dan lebih ramah lingkungan," kata Nico Buchholz, Executive Vice President Lufthansa Group Fleet Management, kepada Boeing.

Dibandingkan dengan B747-400, Boeing memang menjamin bahwa B747-8 lebih senyap 30 persen, lebih hemat bahan bakar 16 persen, dan lebih rendah 13 persen dalam biaya per kursi per mil. Boeing 747-8 juga mampu mengangkut hingga 467 penumpang, atau lebih banyak 51 penumpang dibanding B747-400.

Andai saja terminal-terminal di Bandara Internasional Soekarno-Hatta telah direnovasi, dengan kemampuan melesakkan penumpang ke dek atas B747-8, maka bolehlah kita menyambut burung besi itu. Terlebih, penumpang dari 3 unit B737-800 NG yang kini diterbangkan Garuda dapat dijejalkan ke dalam satu unit B747-8 itu. Sungguh sangat efisien.

Lebih banyak penumpang! Itulah keinginan maskapai dunia saat ini. Tak heran, superjumbo Airbus A380 buatan Toulouse, Perancis, laku bak kacang goreng. Pesawat dengan dua dek itu, misalnya, dipercayai terbang London-Singapura, Singapura-Sydney, dan London-Tokyo.

Hingga kini, ada sekitar 15 maskapai yang telah memesan sekitar 150 unit A380. Padahal, harga tiap unitnya mencapai Rp 3,3 triliun, atau di Indonesia setara biaya investasi pembuatan satu jalan tol sepanjang kira-kira 30 kilometer.

Singapore Airlines-lah yang pertama kali menerbangkan A380 mulai 28 Oktober 2007. Meski demi alasan kenyamanan, Singapore Airlines mengisi pesawat jumbo itu dengan 471 kursi: 12 kursi kelas suite, 60 kursi kelas bisnis, dan 399 kursi kelas ekonomi.

Penumpang kelas suite bukan sekadar mendapat ruang kaki yang lebar, tapi seolah kamar pribadi! Di bagian buritan A380 terdapat pula kabin tidur untuk pramugari dan awak kabin lainnya. Sungguh, fasilitas yang sangat didamba penumpang maupun awak kabin.

Concorde

Februari 2011, kira-kira lima hari sebelum B747-8 Intercontinental diluncurkan, di salah satu sudut pabrik Air bus, di Toulouse, Perancis, tertangkap oleh mata, sebuah Concorde yang dulu diterbangkan Air France. Pesawat legendaris itu diparkir dekat pesawat bersejarah lainnya.

Ketika didekati, sungguh mengejutkan, ternyata Concorde berkelir putih itu sangatlah jangkung. Ada kesan aristokrat, dengan posisi pesawat yang menengadah, dan ruang cockpit yang sangat tinggi dari permukaan bumi.

Dari sisi eksterior, ada kesan sexy dengan sayap deltanya dan kaki jenjangnya. Ada nuansa berbeda pastinya ketika dulu Concorde diparkir di apron bersebelahan dengan pesawat komersial lainnya.

Concorde, di suatu masa, pernah menjadi saksi kehidupan penuh gaya kaum jetset yang hilir-mudik menyeberangi Samudra Atlantik hanya dalam tiga jam ketika pesawat komersial lain macam Boeing 747 harus menyeberangi Atlantik dalam enam jam.

Saya berkesempatan melihat kabin Concorde itu. "Saya bukakan gembok pesawat ini karena anda sekalian beli Airbus kami," ujar guide dari Airbus, sambil tersenyum. Kedatangan kami ke Toulouse adalah memang untuk menjemput Airbus A320 yang segera diterbangkan oleh maskapai AirAsia Indonesia.

Ketika melongok dan berjalan di bagian dalam kabin, saya pun sedikit pula terkejut karena kabinnya begitu sempit. Konfigurasi kursinya pun 2-2, mirip bus eksekutif malam, dengan warna interior abu-abu kusam.

Sempitnya kabin Concorde tentu mengikuti desain aerodinamik supaya pesawat itu dapat terbang melebihi kecepatan suara. Bila umumnya pesawat komersial terbang dengan kecepatan 800 kilometer per jam, maka mesin Rolls-Royce SNECMA mampu melesatkan Concorde dengan kecepatan 2.189 km per jam.

Ketinggian jelajahnya pun tak lagi hanya 36.000 kaki, tetapi Concorde mengudara di ketinggian 60.000 kaki. Dan dari jendela Concorde yang berdimensi lebih kecil supaya mampu menahan tekanan kuat di langit yang lebih tinggi, maka penumpang-penumpang jetset mampu menikmati lengkung bumi.

Saya membayangkan, kemeriahan di kabin pesawat itu saat pria-pria berjas hitam, bersama wanita-wanita dengan gaun mini dan berlian-berlian besar yang menggantung di dada mereka saling menyapa satu sama lain. Kemudian pramugari pun mengedarkan gelas-gelas wine sehingga kemeriahan makin menyeruak di kabin itu.

Belum lagi saat lengkung bumi mulai terlihat di ketinggian 60.000 kaki; dan mereka berebut melihat keluar jendela. Pasti sangat luar biasa atmosfer di dalam pesawat itu. Sepertinya pula kebosanan takkan sempat menyergap. Tak ada istilah itu, mati gaya karena sesaat kemudian pesawat mulai menurun untuk bersiap landing di Heathrow (London) atau John F Kennedy (New York).

Tiba-tiba sebuah pertanyaan menyeruak, akankah Concorde ini terbang lagi?

Ini pertanyaan lumrah, sebab selama ini, dari Jakarta menuju kota-kota di Eropa harus ditempuh dengan penerbangan 15-20 jam! Bukankah dengan Concorde waktu tempuhnya maksimal menjadi sekitar 10 jam? Perjalanan ke Eropa bukankah tak terlalu menyiksa?

Era super-jumbo

Sayangnya tak terlihat adanya titik terang dalam pengoperasian kembali Concorde. Tak ada maskapai yang tertarik lagi, sebaliknya maskapai malah terlihat sepenuh hati menyayangi pesawat-pesawat gembrot macam Boeing 747-8 Intercontinental dan Airbus A380.

Yang dibutuhkan adalah memang pesawat super-jumbo, yang mampu mengangkut penumpang sebanyak mungkin, dengan harapan mengurangi beban dari landasan pacu yang kapasitasnya makin terbatas.

Pesawat super-jumbo itulah yang sebenarnya dibutuhkan oleh Indonesia—negara yang selalu sulit membangun infrastruktur apa pun. Lihatlah keterbatasan runway di Cengkareng, Bandara Ngurah Rai, hingga Bandara Adisutjipto. Keterbatasan yang membuat slot-time sangat padat dan mulai mengganggu jadwal lepas landas.

Dan Concorde, dengan kapasitas angkut 100 orang penumpang, tentu tak masuk hitungan untuk memenuhi kebutuhan atas sebuah pesawat super-jumbo.

Sudah begitu, inilah era dimana harga jet-fuel mencapai 130 dollar Amerika Serikat per barrel. Kondisi yang makin mempersulit Concorde karena pesawat itu terkenal boros konsumsi bahan bakar, yakni 6,5 lebih boros dibandingkan pesawat komersial lain.

Seorang guide Airbus, yang mengantar kami melihat Concorde, itu pun mengatakan, dengan Airbus A330, anda terbang dari Singapura di senja hari, dan mendarat di Paris tepat di pagi hari. Lantas, anda dapat menikmati secangkir coklat hangat dengan croissant sembari menikmati Paris di pagi hari. Apa yang terjadi bila naik Concorde? Anda tiba di Paris tengah malam, dan terpaksa ke night-club, ujarnya sambil terkekeh.

Jadi Concorde, karena dikau tak mungkin terbang lagi, aurevoir, sampai jumpa lagi, Monsieur... Sampai jumpa lagi di Toulouse....
Email: rizky.prawinto@gmail.com
Facebook Page: Rizky Prawinto Page
Facebook Profile: Rizky Prawinto
Instagram: @rizkyprawinto
Linkedin: Rizky Prawinto
Pinterest: rizkyprawinto