INILAH.COM, Jakarta- Jakarta memang multimasalah. Salah satu penyebabnya ternyata adalah tidak dimanfaatkannya budaya peninggalan Belanda secara maksimal oleh masyarakat.
Hal ini diungkapkan pakar tata kota Universitas Trisakti Yayat Supriyatna saat dihubungi INILAH.COM, Selasa (28/9). “Persoalan terbesar kita adalah rasionalitas di mana penduduk seharusnya bertindak secara rasional. Walaupun kita tinggal di Jakarta yang dianggap sebagai kota, namun pelakunya tetap saja katro (desa).�
Jakarta merupakan kota warisan masa lalu dari pemerintah Belanda sehingga terbentuk dalam proses sejarah. Sayangnya, menurut Yayat Supriyatna, masuarakat tidak memiliki penanaman nilai sehingga semua berjalan tanpa batas.
Hal senada juga diungkapkan Ketua Departemen Sosiologi Linda Damayanti. Jakarta sebenarnya berkembang sebagai kota pelabuhan di zaman kolonial serta pusat kegiatan Belanda.
“Mereka telah menyiapkan sistem pendukung. Namun, kota pelabuhan sendiri, secara alamiah, akan berkembang. Perkembangan terkait dengan pertumbuhan seperti penduduk dan ekonomi kota.�
Sayangnya, pemerintah lanjutan tidak membuat perencanaan yang baik. Misalnya saja, ujar Linda, tingginya pengelompokan secara sosial dalam kependudukan. “Ada kampung melayu misalnya. Ada strata dan ini berdampak pada pola letak kota.�
Pada tahun 1980an, jakarta sudah memiliki pola tata kota namun menjadi tidak terkendali karena banyak politik kepentingan. Linda menilai bahwa perencanaan kota menekankan pada sosial tapi tidak seimbang dengan ekonomi dan fisik.
Jakarta tetap menjadi pusat segalanya meskipun telah muncul kebijakan politik dekonsentrasi planologis. Ini berarti memindahkan beberapa fungsi pusat Jakarta di wilayah sekitarnya. Pusat pendidikan misalnya dipindahkan ke Depok. Kemudian, industri ke Tangerang.
“Sayangnya, pemerintah tidak tegas terhadap beberapa aspek penataan sehingga kebijakan yang baik tidak berjalan optimal,� kata Linda lagi.