Ini Penyebab Jalan Martadinata Amblas


VIVAnews - Amblasnya sebagian badan Jalan RE Martadinata, Jakarta Utara, Kamis dini hari, 16 September 2010, disebabkan kelalaian teknis terhadap kondisi alam di sekitar jalan itu. Pembangunan jalan seharusnya dirancang dengan tidak mengabaikan fenomena perubahan karakter tanah akibat naiknya genangan air tawar dan air laut yang berlebihan.

Kesimpulan ini merupakan hasil penelitian Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, yang dipublikasikan Minggu 26 September 2010.

Tanah penyangga badan Jalan RE Martadinata adalah lempung-pasiran, termasuk satuan alluvium dataran banjir Jakarta yang rentan terhadap kandungan air. Sifat umum lempung ini menciut dan retak pada kondisi kering, serta mengembang pada kondisi basah.

Jika kandungan air telah melewati ambang batas, akan mengakibatkan deformasi tanah menjadi elastis dan gembur menyerupai fluida yang lembek. Pada kondisi ini, bila terdapat tekanan besar, tanah akan berubah bentuk menjadi aliran lumpur (mud flow).

"Ini yang diduga penyebab amblasnya sebagian badan Jalan RE Martadinata," tulis keterangan itu.

Tanah penyangga yang telah berubah menjadi tanah lumpur, membuat konstruksi badan jalan tidak kuat menahan beban. Sedangkan tenggelam badan jalan secara perlahan hingga kedalaman 7 meter, merupakan konsekuensi logis pengaruh alam jangka panjang.

Istilah abrasi sebagai penyebab utama amblasnya badan jalan, sebenarnya tidak tepat. Sebab, abrasi atau erosi pantai lazimnya terjadi pada garis pantai yang berhubungan langsung dengan laut.

Istilah abrasi menurut kaidah geologi adalah pengikisan garis pantai oleh gelombang dan arus laut yang mengakibatkan semakin mundurnya letak garis pantai. Padahal badan jalan Martadinata tidak langsung menghadap ke laut.

"Ditinjau dari proses deformasi tanah penyangga, tidak menutup kemungkinan seluruh badan Jalan Martadinata akan mengalami hal serupa, sehingga perlu pemeriksaan detil mengenai kondisi tanah," lanjut hasil penelitian ini.

Pengukuran kondisi tanah di bawah badan jalan biasanya menggunakan teknologi Subsurface Interface Radar (SIR) atau Ground Probing Radar (GPR). Prinsip kerja SIR/GPR ini menggunakan gelombang nano (40-200 MHz) untuk merekam struktur tanah melalui citra rekaman. (sj)
Email: rizky.prawinto@gmail.com
Facebook Page: Rizky Prawinto Page
Facebook Profile: Rizky Prawinto
Instagram: @rizkyprawinto
Linkedin: Rizky Prawinto
Pinterest: rizkyprawinto