Yang Terbatas, yang Berprestasi


KOMPAS.com — Bapak… Tiok nomor satu…,” ujar Prasetyo Achmad (12), anak berkebutuhan khusus, kepada bapaknya sambil mengacungkan ibu jarinya dan tersenyum.

Sang bapak, Rofii (43), hanya bisa terkaget-kaget dari bawah podium. ”Anak saya juara? Lho... saya kira itu tadi uji coba,” ujar pegawai negeri sipil (PNS) di Kementerian Pertanian ini sambil melambai ke arah Tiok.

Melihat kebahagiaan anaknya menerima medali juara I lomba lari 25 meter di festival olahraga gabungan untuk memperingati Eunice Kennedy Shriver (EKS Day), Sabtu (25/9/2010) di Stadion Pemuda Rawamangun, Kompleks Gelanggang Olahraga Rawamangun, Jakarta, Rofii hanya tersenyum. ”Sebelum ini, Tio juga menang di kejuaraan lari untuk anak-anak dengan keterbatasan di awal 2010,” ujar Rofii.

Kebahagiaan juga terlihat di wajah Tita. Peserta lomba lari 25 meter dengan nomor dada 1772 itu cepat-cepat melangkah saat pemberi aba-aba meminta peserta segera lari. Meski tidak menang, senyum lebar terus saja menghiasi wajahnya.

Seperti Tiok dan Tita, Raras, murid kelas III SMALB Asih Budi II Jakarta juga menikmati lomba lari. Seusai lomba, ia sibuk bercerita. ”Dia juara II kejuaraan bulu tangkis Special Olympics Indonesia Januari 2010 lalu di Jakarta,” ujar Solihin (50), bapak Raras.

Solihin mengungkapkan, keterbelakangan daya tangkap Raras dimulai dengan panas tinggi dan kejang-kejang di usia tujuh bulan. Hingga umur tiga tahun, Raras menjalani terapi karena ia mengalami keterlambatan jalan dan bicara. ”Kami sudah bisa menerima keterbelakangan itu,” ujar Solihin.

Solihin menambahkan, anak seperti Raras mau tidak mau selalu bergantung pada keluarga. Namun, ia mencoba mengajarkan menjahit kepada Raras supaya ia mandiri.

Di acara EKS Day itu, sekitar 400 anak penyandang tunagrahita dari SDLB, SMPLB, dan SMALB di wilayah DKI Jakarta, pelatih, keluarga, dan pengurus Special Olympics Indonesia (SOIna) datang. Anak-anak berkebutuhan khusus itu mengikuti lomba atletik lari nomor 25 meter dan 50 meter, sepak bola, dan bocce atau lempar bola seusai mengikuti senam bersama.

Ketua Umum Pengurus Pusat SOIna Pudji Hastuti berujar, bagi anak-anak berkebutuhan khusus dan punya keterbatasan, khususnya penyandang tunagrahita, Eunice Kenndey Shriver memiliki arti khusus. Eunice mendirikan Gerakan Special Olympics sebagai upaya untuk membuka mata dunia, mereka yang berketerbatasan dan berkebutuhan khusus juga memiliki kemampuan lebih.

Gerakan Special Olympics bermula pada kegiatan kemah olahraga (sport camp) tahun 1960 yang diselenggarakan Eunice di rumahnya di Maryland, AS. Dari semula 75 atlet berkebutuhan khusus yang ikut acara itu, hingga kini sudah 3,5 juta atlet berkebutuhan khusus, 750.000 pelatih, 1,2 juta relawan dari 180 negara bergabung di Special Olympics ini.

Di Indonesia, sejak didirikan pada 1989 hingga 2009, sebanyak 47.525 atlet dari 33 provinsi menjadi partisipan SOIna. ”Eunice yakin, melalui olahraga, penyandang tunagrahita akan mendapatkan kesehatan dan kebugaran fisik, kegembiraan dan percaya diri, dan pada akhirnya memperoleh pengakuan akan kesetaraan hak dan kewajibannya dan diterima sebagai bagian dari masyarakat,” ujar Pudji.

Seperti Tiok dan Tita, Sabtu kemarin menjadi hari yang menggembirakan bagi anak berkebutuhan khusus itu.

Tengok saja kegembiraan Fifi (10), anak penderita down syndrome. Dengan tuntunan ibunya, Zubaedah, Fifi bersemangat melempar bola-bola warna merah dalam lomba bocce. Ia tidak tahu ia mampu bertahan dan membuat lomba itu seri. Yang ia tahu, permainan selesai dan ia berlalu. Ah, meski terbatas di mata masyarakat umum, ternyata mereka bisa berprestasi. (HLN)
Email: rizky.prawinto@gmail.com
Facebook Page: Rizky Prawinto Page
Facebook Profile: Rizky Prawinto
Instagram: @rizkyprawinto
Linkedin: Rizky Prawinto
Pinterest: rizkyprawinto