NILAH.COM, Jakarta – Pasar otomotif di Indonesia sangat besar dan menjadi incaran negara-negara lain seperti Jepang, Korea, Amerika, India dan China. Lalu kapan RI punya mobil nasional?
Pengamat ekonomi David Sumual mengatakan, mobil nasional merek sendiri merupakan cita-cita lama. Menurutnya, sejak 1970, industri otomotif Tanah Air tak pernah berhasil menjadi tuan rumah di negeri sendiri dan hanya terbatas sebagai perakit.
Sebenarnya import content komponen otomotif semakin berkurang. Hanya saja dipastikan Indonesia harus mengeluarkan energi lebih banyak. “RI punya pengalaman dengan Timor. Memang Timor tidak sepenuhnya milik kita, melainkan kerjasama dengan KIA Korea yang kemudian dimodifikasi,” katanya kepada INILAH.COM, di Jakarta, Selasa (22/2).
Untuk punya merek sendiri, lanjutnya, RI harus punya industri spare part yang tangguh seperti Toyota, Daihatsu dan Honda di Jepang, yang memiliki puluhan ribu usaha kecil menengah (UKM) penunjang mulai dari velg hingga gear. “Karena itu, industri otomotif Jepang sangat kuat. RI harus siap membina industri seperti itu,” paparnya.
RI sebenarnya sudah memiliki banyak subkontrak, sebagai salah satu bentuk desentralisasi produksi. Bahkan, sekitar 60% komponen otomotif sudah diproduksi secara lokal. “Selebihnya murni impor. Kalau RI punya merek tertentu, tinggal dialihkan ke merek sendiri,” ucapnya.
Yang jadi masalah adalah alam pikiran masyarakat Indonesia yang selalu berorientasi luar negeri sehingga produk dalam negeri tidak laku. Berbeda dengan bangsa Korea yang membuat pabrik di Indonesia, tapi tidak mau berubah merek. “Mereka sangat cinta pada produk dalam negerinya,” tuturnya.
Bagaimana RI bisa mengekspor produknya, sementara bangsanya sendiri tidak mau memakainya? Dari sisi teknologi, dia yakin orang Indonesia sudah bisa. “Lihat saja, spare part untuk Astra bisa diproduksi dalam negeri. Karena itu, masyarakat harus diedukasi, bahwa produk dalam negeri juga bagus,” paparnya.
Berkaca pada mobil nasional Timor yang menggunakan teknoligi KIA sepenuhnya, dinilai David sudah tepat. Sebab, Korea pun pada mulanya membangun industri otomotif dengan menggunakan teknologi Jepang. “Setelah mampu, Korea mengembangkannya sendiri,” ujarnya.
Karena itu, jika RI mau berpartner dengan Astra, sebenarnya bisa membuat mobil nasional. Tinggal masalah pemasaran produknya saja. “Seperti Avanza dan Xenia, sebenarnya produk yang sama. Tapi, Avanza bisa dijual lebih mahal. Itu hanya masalah persepsi bahwa Toyota lebih bagus dari Daihatsu. Padahal, produknya persis sama,” timpalnya.
Sementara pengamat otomotif Suhari Sargo mengatakan, tidak mungkin membuat industri sendiri tanpa melibatkan perusahaan pendukung. Sejauh ini, perusahaan-perusahaan komponen RI belum mandiri, masih tergantung pada Jepang. “Sebagian komponen mobil, diimpor dari Jepang,” tambahnya.
Karena itu, lanjut Suhari, untuk membuat komponen, Indonesia harus menguasai teknologi dan arus suplainya seperti bahan baku dan pendukung lainnya. Semua itu, melibatkan industri lain di luar otomotif seperti alumunium dan baja. “Komponen mobil membutuhkan bahan baku dari alumunium. RI belum punya industri alumunium,” tukasnya.
Begitu juga dengan baja pelat body. RI belum memiliki industri yang bisa membuat pelat body mobil. PT Krakatau Steel belum bisa membuat pelat khusus untuk mobil. “Baru komponen mobil dari plastik dan kaca yang sudah dibuat di dalam negeri,” ucapnya. Baut dan velg memang dibuat di dalam negeri, tapi bahan bakunya masih diimpor.
Yang realistis saat ini adalah mengembangkan yang sudah ada. Produsen Jepang hanya mengincar pasar sehingga berpeluang menempatkan industrinya di Indonesia seperti yang sudah terjadi di Thailand.
“Jika volumenya cukup besar dan industri pendukungnya berkembang, RI bukan hanya sebagai perakit, tapi secara total jadi produksi Indonesia meskipun merek masih Jepang,” ungkapnya.
Soal merek Jepang, Suhari tidak mempermasalahkannya. Hal itu menurutnya hanya soal pengenalan pasar. Di tengah perdagangan bebas, RI bisa menjadi basis produksi otomotif sehingga RI bisa mengekspor otomotif ke negara manapun meskipun merek Jepang.
“Sejak lima tahun terakhir, RI sudah mengekspor sekitar 100 ribu unit otomotif per tahun dengan berbagai merek seperti Toyota, Suzuki, Daihatsu dan lain-lain,” imbuh Suhari. [mdr]