Surabaya Post - Hujan deras yang mengguyur lereng Gunung Wilis, Jawa Timur sepekan terakhir meninggalkan rekahan yang kian mengkawatirkan. Kini retakan di lereng gunung itu makin melebar.
Sebelumnya retakan sepanjang 2 kilometer itu putus-putus, tapi kini mulai menyambung dengan lebar bervariasi sekitar 15-20 centimeter dengan kedalaman lebih dari 5 meter.
Meski demikian, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung memastikan kondisi itu masih aman. Suara dentuman dan getaran yang terjadi hingga 20 kali sehari juga dinilai tidak berbahaya. Fenomena alam ini dipastikan akan berhenti dengan sendirinya dalam dua bulan mendatang.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Bencana Geologi PVMBG, Gede Suantika, mengatakan, pihaknya masih beranggapan fenomena alam tersebut sebagai akibat dari pergerakan tanah lambat. Kejadian ini dipengaruhi oleh curah hujan tinggi, hingga mempengaruhi kestabilan tanah.
"Dua bulan lagi kalau intensitas hujan menurun, atau bahkan berhenti, kejadian ini saya perkirakan juga akan berhenti," kata Gede Suantika, Sabtu 26 Februari 2011.
Tak hanya di wilayah Nganjuk, dentuman dan getaran di Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, dan Madiun juga tidak berbahaya. Kondisi di beberapa kota itu dipengaruhi kondisi geologi wilayah seputar Gunung Wilis, yang terdiri dari banyak sesar atau retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan.
Secara teori, ukuran dimensi sesar dapat mencapai ratusan kilometer atau sesar Semangko. Sedangkan ukuran lainnya hanya beberapa centimeter saja.
Meski menyatakan fenomena dentuman, getaran dan retakan sebagai hal yang tidak berbahaya, PVMBG dipastikan akan melakukan penelitian lebih lanjut. Khusus di Nganjuk yang dilaporkan sudah terjadi retekan dan longsoran.
Seperti diketahui, Gunung Wilis merupakan gunung non-aktif di perbatasan 6 kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek. Ketinggian gunung ini mencapai 2.552 meter dan memiliki cukup banyak air terjun.
Swasta Katriatmojo selaku Kasi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ESDM Provinsi Jatim mengatakan, suara gemuruh mulai berkurang. "Tadi malam hanya tujuh belas kali," ujarnya.
Sementara untuk mengantisipasi agar tanah yang retak tidak sampai longsor, pihak ESDM provinsi Jatim mengimbau kepada pemerintah Kabupaten Nganjuk agar segera menutup lubang atau retakan-retakan tanah agar tidak dimasuki air dan semakin melebar.
"Retakan tanah juga di sebabkan beralih fungsinya lahan di lereng Gunung Wilis dari hutan menjadi tegal atau persawahan," ujarnya.
Akan tetapi mengenai dampak dari retakan tersebut bagi ratusan warga dusun Sumbertumpeng, desa Margopatut belum bisa dipastikan.
Ketua Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amin Widodo, mengatakan, kemungkinan dentuman dan getaran tersebut juga terjadi akibat tabrakan dua lempeng bumi di bagian selatan Pulau Jawa.
"Lempeng bumi di Samudra Indo-Australia yang bergerak ke arah timur utara. Sehingga hasil dari pergerakan ini menekan Pulau Jawa yang merupakan bagian dari Eurasia, suara gemuruh itu akibat pergeseran lempeng bumi itu," ujarnya.
Menurutnya pergerakan kedua lempeng bumi inilah yang menyebabkan berbagai fenomena alam. Pergeseran kedua lempeng tersebut membuat terjadinya gempa, tsunami dan juga erupsi gunung berapi.
Amin menambahkan, lokasi yang terdengar suara gemuruh menandakan daerah tersebut pernah terjadi gempa bumi. Dari data yang didapat, sekitar tahun 1950-an daerah selatan Jawa yang terdengar suara gemuruh tersebut memang pernah diguncang gempa. Namun kekuatannya hanya berkisar 5 Skala Ricter.
Dari pengukuran yang dilakukan oleh GPS, gerakan lempeng Indo-Australia mengarah pada 35 derajat timur utara. Kecepatan pergerakannya diperkirakan mencapai 66 mm/tahun. Akibatnya kedua lempeng yang bertabrakan tersebut menciptakan getaran yang berpotensi menimbulkan suara gemuruh hingga gempa.
"Perlu diketahui jika suatu daerah mengalami gempa, maka suatu hari gempa di daerah itu kemungkinan akan dapat terulang dengan kekuatan dan magnitude yang sama," katanya.
Dirinya memberi contoh pada tahun 1943 Jogjakarta pernah diguncang gempa. Hingga akhirnya daerah di sekitar Yogjakarta diguncang gempa kembali pada medium 2006 dan akhir desember 2010. Dari sisi kekutan skalanya juga hampir sama. (Yopi Widodo & Ronny Kurniawan)
• VIVAnews
Sebelumnya retakan sepanjang 2 kilometer itu putus-putus, tapi kini mulai menyambung dengan lebar bervariasi sekitar 15-20 centimeter dengan kedalaman lebih dari 5 meter.
Meski demikian, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Bandung memastikan kondisi itu masih aman. Suara dentuman dan getaran yang terjadi hingga 20 kali sehari juga dinilai tidak berbahaya. Fenomena alam ini dipastikan akan berhenti dengan sendirinya dalam dua bulan mendatang.
Kepala Bidang Mitigasi Gempa dan Bencana Geologi PVMBG, Gede Suantika, mengatakan, pihaknya masih beranggapan fenomena alam tersebut sebagai akibat dari pergerakan tanah lambat. Kejadian ini dipengaruhi oleh curah hujan tinggi, hingga mempengaruhi kestabilan tanah.
"Dua bulan lagi kalau intensitas hujan menurun, atau bahkan berhenti, kejadian ini saya perkirakan juga akan berhenti," kata Gede Suantika, Sabtu 26 Februari 2011.
Tak hanya di wilayah Nganjuk, dentuman dan getaran di Trenggalek, Tulungagung, Ponorogo, dan Madiun juga tidak berbahaya. Kondisi di beberapa kota itu dipengaruhi kondisi geologi wilayah seputar Gunung Wilis, yang terdiri dari banyak sesar atau retakan yang mempunyai pergerakan searah dengan arah retakan.
Secara teori, ukuran dimensi sesar dapat mencapai ratusan kilometer atau sesar Semangko. Sedangkan ukuran lainnya hanya beberapa centimeter saja.
Meski menyatakan fenomena dentuman, getaran dan retakan sebagai hal yang tidak berbahaya, PVMBG dipastikan akan melakukan penelitian lebih lanjut. Khusus di Nganjuk yang dilaporkan sudah terjadi retekan dan longsoran.
Seperti diketahui, Gunung Wilis merupakan gunung non-aktif di perbatasan 6 kabupaten di Jawa Timur, yaitu Kediri, Tulungagung, Nganjuk, Madiun, Ponorogo, dan Trenggalek. Ketinggian gunung ini mencapai 2.552 meter dan memiliki cukup banyak air terjun.
Swasta Katriatmojo selaku Kasi Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi ESDM Provinsi Jatim mengatakan, suara gemuruh mulai berkurang. "Tadi malam hanya tujuh belas kali," ujarnya.
Sementara untuk mengantisipasi agar tanah yang retak tidak sampai longsor, pihak ESDM provinsi Jatim mengimbau kepada pemerintah Kabupaten Nganjuk agar segera menutup lubang atau retakan-retakan tanah agar tidak dimasuki air dan semakin melebar.
"Retakan tanah juga di sebabkan beralih fungsinya lahan di lereng Gunung Wilis dari hutan menjadi tegal atau persawahan," ujarnya.
Akan tetapi mengenai dampak dari retakan tersebut bagi ratusan warga dusun Sumbertumpeng, desa Margopatut belum bisa dipastikan.
Ketua Pusat Studi Bencana Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, Amin Widodo, mengatakan, kemungkinan dentuman dan getaran tersebut juga terjadi akibat tabrakan dua lempeng bumi di bagian selatan Pulau Jawa.
"Lempeng bumi di Samudra Indo-Australia yang bergerak ke arah timur utara. Sehingga hasil dari pergerakan ini menekan Pulau Jawa yang merupakan bagian dari Eurasia, suara gemuruh itu akibat pergeseran lempeng bumi itu," ujarnya.
Menurutnya pergerakan kedua lempeng bumi inilah yang menyebabkan berbagai fenomena alam. Pergeseran kedua lempeng tersebut membuat terjadinya gempa, tsunami dan juga erupsi gunung berapi.
Amin menambahkan, lokasi yang terdengar suara gemuruh menandakan daerah tersebut pernah terjadi gempa bumi. Dari data yang didapat, sekitar tahun 1950-an daerah selatan Jawa yang terdengar suara gemuruh tersebut memang pernah diguncang gempa. Namun kekuatannya hanya berkisar 5 Skala Ricter.
Dari pengukuran yang dilakukan oleh GPS, gerakan lempeng Indo-Australia mengarah pada 35 derajat timur utara. Kecepatan pergerakannya diperkirakan mencapai 66 mm/tahun. Akibatnya kedua lempeng yang bertabrakan tersebut menciptakan getaran yang berpotensi menimbulkan suara gemuruh hingga gempa.
"Perlu diketahui jika suatu daerah mengalami gempa, maka suatu hari gempa di daerah itu kemungkinan akan dapat terulang dengan kekuatan dan magnitude yang sama," katanya.
Dirinya memberi contoh pada tahun 1943 Jogjakarta pernah diguncang gempa. Hingga akhirnya daerah di sekitar Yogjakarta diguncang gempa kembali pada medium 2006 dan akhir desember 2010. Dari sisi kekutan skalanya juga hampir sama. (Yopi Widodo & Ronny Kurniawan)